HIMASINDO

Tampilkan postingan dengan label Naskah Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Naskah Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Juni 2013

Padamu Jua

PADAMU JUA
Oleh :
Amir Hamzah

Habis kikis

segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.

Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.

Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku.

Cipasung

CIPASUNG
Oleh :
Acep Zam-zam Noor

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur

Dialog Bukit Kamboja

DIALOG BUKIT KAMBOJA
Oleh:
D. Zawawi Imron

Inilah  ziarah di tengah nisan nisan tengadah
Di bukit serba kamboja matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

“Aku anak almarhum “ , Jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi mkeriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

“Lewat berpuluh kemarau telah kuberikan kubur didepan mu
Karena kuanggap kubur anakku”

Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

Jauh dilembah membias rasa syukur
Pada hijau lading sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana kemana
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyamaian  terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”

“ Tapi ayahku sepi Pahlawan
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“ Apa salahnya kalau sesekali
Kuur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kamboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”

Sore berangkat ke dalam remang
KE kelopak kelelawar

“ Hormatku padamu, nenek ! karena engkau
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta.
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu

Kelam mendesak kami berkisah. Di hati tidak
Anginpun tiba dari tenggara . Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tidak jijik menyeka nanah
Pada anak-anak desa dibawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah malu.

Ziarah

ZIARAH
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Kita berjingkat lewat
Jalan kecil ini
Dengan kaki telanjang : kita berziarah
Ke kubur orang–orang yang telah melahirkan kita
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa–apa. Kita
Tak membawa kemenyan atau pun bung –bunga
Kecuali seberkas rencana–rencana kecil
( yang senantiasa tertunda–tunda ) untuk
Kita sumbangkan kepada mereka.
Apakah akan kita jumpai wajah–wajah bengis,
Atau tulang belulang, atau sisa–sisa jazad mereka,
Ibu-bapa kita yang mendongeng
Tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,
Tanpa menyebut-nyebut nama
Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,
Kenangan yang membuat kita merasa
Pernah ada
Kita berziarah, berjangkitlah sesampai
Di ujung jalan kecil ini,
Sebuah lapangan terbuka
Batang-batang cemara
Angin
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga
Mereka lelah tidur sejak abad pertama,
Semenjak hari pertama itu,
Tak ada tulang belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka
Ibu bapa kita sungguh bijaksana, terjebak
Kita dalam dongengan nina bobok
Di tangan kita bekas-bekas rencana
Di atas kepala
Sang Surya.

Syiwa-Nataraja

SYIWA-NATARAJA
Oleh :
Sanusi Pane

Pada perjalananku melalui langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termayhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat
Astana Rahwana sebagai bulan purnawa raya.
Dan di negara Godawari dan Krisyna, Nataraja.
Mahadewa sebagai Penari. Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputera,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura,
Madiadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Karusetra Aku berada di Sarnath negara,
Tempat Budha pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna.
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak berkata
Dalam taman dan astara Taj Mahal, Mutiara Timur
Tempat Syah Jaha dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi, mengenang cinta.
O, jiwa India

Kupandang gilang-gemilang, kurasa mahamulya
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku selurus lama.
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam Candi Kencana, yang beridir di jantung hati
Tanah Hindustan
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani dengan mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina : Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya
Di Indonesia tanah airku.
Natesa berdiri

Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat’ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di’alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati.
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata,
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian ‘alam berhenti beredar memberi hormat,
Jiwa makin lama kian lebar dan pada saat
Ia beridir dari kalbu hati dunia, segala ‘alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
Dirinya : la satu dengan Nataraja, Mahadewa
Ialah dia : seorang yang mencari sudah merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke Candi, dari negheri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah,
Tari segala ‘alam, Masukilah api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya yang Syiwa-Nataraja”

Di atas buta, tangan kanan memegang gendeng, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya : angan-angan
Keindahan
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian. Tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang-benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada
Sunyi
Dari memenuhi seantero dunia. ‘Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang-benderang dan ‘alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap ‘alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang. Makhluk yang indah permai, yang
Gilang-gemilang
Masuk ke dalam, ke luar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara ‘alam yang silang-bersilang,
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa”,
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar. Apa yang kau pandang, terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti. Semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar

Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya,
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya,
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuaca terang.
Tetapi beli ia merdeka, berkali-kali lagi
Ia masuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan
“nyata”.

Aku

AKU
Oleh :
Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Gadis Peminta-minta

GADIS PEMINTA-MINTA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kali bertemu,
gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah
jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Surat dari Ibu

SURAT DARI IBU
Oleh :
Asrul Sani

Pergi ke dunia anak-anaku sayang
pergi ke hidup bebas!
Sesama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Sesama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"

Menuju ke Laut

MENUJU KE LAUT
Oleh :
Sutan Takdir Alisjahbana

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda.
Ketenagan lama serasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gegap gempita suara mengerang,
Dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukanya jalan,
bedana terhembas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin
namun kembali diada angin,
ketenangan lama tiada diratap.
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.

Bayi Lahir Bulan Mei 1998

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Oleh :
Taufik Ismail

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku.

Benteng

BENTENG
Oleh :
Taufik Ismail
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tldak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

Karangan Bunga

KARANGAN BUNGA
Oleh :
Taufik Ismail

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.

Membaca Tanda-Tanda

MEMBACA TANDA-TADA
Oleh :
Taufik Ismail
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
air
mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.

Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI
Oleh :
Taufik Ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

Satu

SATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Tanah Air Mata

TANAH AIR MATA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                Tanah airmata tanah tumpah dukaku
                mata air airmata kami
                airmata tanah air kami
                di sinilah kami berdiri
                menyanyikan airmata kami
                di balik gembur subur tanahmu
                kami simpan perih kami
                di balik etalase megah gedung-gedungmu
                kami coba sembunyikan derita kami
                kami coba simpan nestapa
                kami coba kuburkan duka lara
                tapi perih tak bisa sembunyi
                ia merebak kemana-mana
                bumi memang tak sebatas pandang
                dan udara luas menunggu
                namun kalian takkan bisa menyingkir
                ke manapun melangkah
                kalian pijak airmata kami
                ke manapun terbang
                kalian kan hinggap di air mata kami
                ke manapun berlayar
                kalian arungi airmata kami
                kalian sudah terkepung
                takkan bisa mengelak
                takkan bisa ke mana pergi
                menyerahlah pada kedalaman air mata
                (1991)
                Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Batu

BATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                        teka
                                teki
        yang
        tak menepati janji ?
    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka
                        teki
                        yang
        tak menepati
                        janji ?
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten

Perjalanan Kubur

PERJALANAN KUBUR
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku keatas bukit
Ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina
Aku menggali-gali dalam diri
Raja darah dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
Menyeka matari membujuk bulan
Teguk tangismu alina

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
Laut-pergi ke laut membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina

Derita Sudah Naik Seleher

DERITA SUDAH NAIK SELEHER
Oleh :
Widji Tukul

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Kucing, Ikan Asin dan Aku

KUCING, IKAN ASIN, DAN AKU
Oleh :
Widji Tukul

seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih pisau
biar kubacok dia
biar mampus!
ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai tanganku
-aku melihat diriku sendiri
lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan