Salah satu kelompok teater modern
di Indonesia yang memiliki karakter berbeda dengan kelompok teater umumnya
adalah kelompok teater kampus. Kelompok yang menggunakan fasilitas dan berbasis
di dalam kampus suatu perguruan tinggi.
Pola keorganisasian dan
keanggotaan sebagaimana wadah organisasi bakat mahasiswa lainnya. Kepengurusan
berganti satu-dua tahun dengan keanggotaan yang silih berganti dan tambal sulam
setiap tahunnya. Secara struktural berada di bawah naungan pembantu rektor III
sebagai unit kegiatan mahasiswa dan berada di bawah pembantu dekan III atau
Ketua jurusan bila mengatasnamakan fakultas atau jurusan tertentu.
Secara rutin dalam setiap tahun,
teater kampus menggelar pertunjukan di kampusnya yang ditonton oleh seluruh
civitas akademika. Menjadi program utama di antara sejumlah program kerja
lainnya yang dibuat dalam setiap pergantian pengurus melalui musyawarah besar
anggota. Dana operasional organisasi yang diterima setiap teater kampus relatif
berbeda, berkisar dua s/d tiga puluh juta setiap semester. Tergantung jumlah
mahasiswa di suatu kampus/fakultas/jurusan, kebijakan rektorat dan volume
kegiatan kelompok tersebut pada tahun sebelumnya.
Jumlah teater kampus yang aktif
di indonesia, menurut catatan panitia festamasio VI (salah satu forum festival
teater kampus tingkat nasional) sekitar 300 kelompok. Tersebar di seluruh
perguruan tinggi se-Indonesia baik swasta maupun negeri. Di Jakarta terdapat 30
kelompok teater kampus yang aktif secara rutin membuat pertunjukan teater
setiap tahun. Di wilayah Bandung, Surabaya, Malang,Solo, Yogya, Malang,
Banjarmasin, Padang, Makassar, Jambi, Palembang, Padang dll., terdapat minimal
lima kelompok Teater Kampus. Malah di sejumlah kota, hanya kelompok teater
kampus yang mengisi daftar data base dewan kesenian provinsi.
Program yang diselenggarakan
Teater Kampus tidak hanya dalam bentuk pertunjukan teater. Sejumlah Teater
kampus seringkali menyelenggarakan event-event penting yang menjadi bagian dari
semangat berkeseniannya, seperti ; festival baca puisi, festival musikalisasi
puisi, workshop teater, diskusi budaya, latihan alam, festival teater tingkat
SMU dll.
Hampir di setiap kota provinsi
aktivis teater kampus membangun jaringannya secara volunteran, seperti KOTEKA
(forum komunitas teater kampus Jakarta). Adapun forum teater kampus tingkat
nasional berlangsung rutin setiap tahun dan dua tahun; Peksiminas, Pertemuan
Teater Mahasiswa Nasional (TEMU TEMAN),Festival Teater Monolog Mahasiswa
Nasional ( STIGMA) dan Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO). Tiga
kegiatan terakhir sudah berlangsung mandiri selama dan diselenggarakan secara
bergilir oleh kelompok teater kampus yang ditunjuk oleh peserta dalam
penyelenggaraan sebelumnya.
Potensi Teater Kampus
Perkembangan teater Indonesia tak lepas dari modal dasarnya; daya tahan dan
mutu karya generasi penerusnya. Kampus dan teater kampus dalam sejarah
panjangnya menjadi kontributor utama bagi perkembangan regenerasi teater di
Indonesia. Mayoritas teaterawan modern Indonesia paling tidak pernah mencicipi
bangku kuliah walaupun tidak terlibat aktif membangun komunitas teater di
kampusnya, antara lain Rendra, arifin C.Noer, Putu Wijaya, Akhudiat, Dindon,
Ags Dipayana, Niniek L.karim, Radhar Panca Dahana, dll. Adapun sejumlah
teaterawan yang masih konsisten sejak mula berteater di bangku kuliah dan
terlibat aktif di teater kampusnya, antara lain; Nandang Aradea, Gusjur, Wawan
Sofwan (IKIP Bandung), Iswadi Pratama (UNILA), Yudhi Tajuddin,Gunawan maryanto
(UGM), Hamdi Salad (UIN Yogya), Yusril katil (UNAND), Sir Ilham (UIN Jakarta),
Abdi (UNHAS), dll. Dari mereka, pelaku teater kampus dapat mengambil pelajaran
dari cara menyikapi persoalan yang mereka hadapi selama bergulat di dalam
kampus.
Sejak mula berteater di kampus,
mereka telah membuka pergaulan yang baik dan kreatif dengan masyarakat kampus,
juga menjadikan sparing partner seniman senior di luar kampus. Hingga pada
masanya dimana kampus tidak dapat lagi mengakomodir kehadirannya, mereka telah
eksis dan pede sebagai seniman teater. Apakah dengan cara membawa grup
kampusnya keluar bersama dirinya seperti yang dilakukan yudi tajudin cs dengan
teater Garasi, atau sebagai individu yang mendirikan grup baru seperti yang
dilakukan Wawan Sofwan.
Lingkungan kampus yang membangun
daya pikir obyektif dan kritis menjadi tanah subur bagi para pelaku untuk
melangsungkan proses kreatif nya. Sejalan dengan semangat perguruan tinggi
sebagai agen perubahan, dunia kesenian (teater) pun mensyaratkan upaya setiap
pelakunya untuk menjadi diri yang mandiri yang penuh gagasan kreatif dan
inovatif, segar dalam menyikapi dinamika diri dan keadaan sosial, melalui
latihan dasar berupa olah imajinasi, olah rasa/sukma, olah ruang, olah pikir
dan olah tubuh.
Karya pertunjukan sebagai salah
satu produk kebudayaan intelektual bukan menjadi akhir dari proses, tapi lebih
dari itu menjadi bagian dari proses itu sendiri untuk menjadi manusia yang
bahagia, bermanfaat bagi masyarakat, sejatinya Teater kampus memiliki modal
awal yang baik sebagaimana yang tergambar di atas. Wajar, bila harapan akan
masa depan teater indonesia bertumpu padanya. Sebagai kelompok yang dinaungi
lingkungan kampus yang heterogen, dia tumbuh dengan fasilitas yang ada,
dinamika perbedaan pendapat dan keragaman latar belakang anggota masyarakatnya.
Membuatnya terlatih untuk membuka diri dan menyesuaikan diri di lingkungan sekitarnya.
Ditambah bila para pelakunya memiliki semangat belajar dari teaterawan senior,
tentunya asupan ilmu dan pengalamannya akan segera mematangkan diri nya dalam
proses kreatif di kampus.
Modal lingkungan yang baik dan
semangat belajar kepada seniman senior yang visioner, membuat teater kampus
akan tumbuh berkembang sebagai “kawah candra dimuka” yang baik. Selain akan
memproduksi teaterawan-teaterawan yang tangguh yang akan mengisi putaran
regenerasi teater Indonesia, sebagai grup, teater kampus akan tetap bertahan
dalam habitatnya yang tersegarkan oleh hubungan sinergis antara pelaku nya dan
seniman di luar lingkungan kampus.
Seperti dua mata uang, teater
kampus pada satu sisi dapat hadir sebagai satu entitas kegiatan seni mahasiswa
yang dapat mewarnai gerakan kultural di lingkungan kampus. Menggagas
forum-forum bernuansa seni yang kontemplatif, juga dapat masuk dan terlibat
dalam event-event dan forum-forum di lingkungan kampus, untuk merekatkan
hubungan silaturrahmi gan kerja antara civitas akademika. Di sisi lain, melalui
hubungan kerjasama yang baik dan mampu melibatkan secara aktif seluruh pihak;
dosen, karyawan dan jajaran rektorat dalam proses kerja kreatifnya, ditambah
keterlibatan seniman senior sebagai mitra kerja, tidak menutup kemungkinan kesinambungan
kualitas artistik dapat terjaga sebagaimana yang terjadi di sejumlah teater
kampus mancanegara. Walaupun mereka masih terbilang amatiran, tapi produk yang
dihasilkan memiliki daya tawar artistik yang segar dan dapat disejajarkan
dengan produk teater profesional.
Sebagaimana menurut Putu Wijaya; Teater kampus
mancanegara ditonton dengan penuh penghormatan dari masyarakat, bahkan sering
memberikan langkah besar dan inovasi. Untuk itu, Tidak alasan bagi teater
kampus untuk menutup diri atas nama independensi yang salah kaprah. Menutup
diri dari pihak-pihak yang memiliki harapan sama akan perkembangan seni dan
kebudayaan umumnya.
Dalam konteks kualitas karya seni,
sesungguhnya tidak ada alasan bagi teater kampus untuk membuat karya yang tidak
bagus. Semua kelompok teater dari manapun asal nya, memiliki persoalan yang
sama pada prinsipnya, walaupun masing-masing berbeda bentuknya. Tetapi
sesungguhnya, berpulang kembali pada para pelakunya, sejauh mana mereka dapat
menyikapi keterbatasan dan keterjepitan yang mereka hadapi di lingkungannya
masing-masing.
Pusaran Masalah Klasik Sepanjang
perjalanannya, kelompok teater kampus tidak memiliki nafas panjang dalam
melakukan proses yang berkelanjutan. Produk kreatif yang secara artistik
memiliki daya tawar di peta teater Indonesia. Meskipun ada sejumlah teater
kampus yang memiliki capaian artistik yang dapat disejajarkan dengan karya
seniman ‘profesional” non-kampus, namun itu sangat tergantung pada suatu massa
dimana muncul anggota yang memiliki daya juang yang tinggi. Lalu kemudian
secara institusional, keberadaannya tak dapat terus menerus diakomodir oleh
sistem keorganisasian di kampus. Artinya, limit masa perkuliahan dan orientasi
berteater anggota, menjadi faktor utama terjadinya pasang surut semangat dalam
menjaga kesinambungan kualitas produksi karya mereka .
Dilema eksistensial yang dihadapi terus
menerus oleh anggotanya, berdampak pada citra Teater kampus yang seringkali
menjadi kegiatan yang tidak berakar dan tidak terbuka. Hanya semakin menegaskan
pandangan stereotipe masyarakat bahwa pentas teater itu aneh, sensasional,
pelakunya malas, gembel, keras kepala yang sulit menyesuaikan diri dan
bekerjasama dengan masyarakat sekitarnya.
Lengkap sudah stigma masyarakat pada teater
ketika pelakunya tidak mampu mewakili kegelisahan masyarakatnya. Selain hanya
menerima tradisi teater secara turun temurun dari para seniorennya, yang
membuat mereka mudah mengalami disorientasi dan krisiss eksistensi. Akhirnya,
mereka cuma berkutat dalam urusan bentuk-bentuk yang sulit dicerna, gelap dan
membingungkan. Mereka menjadi subversif dan makhluk yang aneh di tengah
keberagaman masyarakat dan perubahan zaman. Selain sebagai produk kesenian yang
jauh dari memori masyarakat dimana mereka melangsungkan proses kreatif, secara
artistik pun tidak masuk dalam hitungan standar pencapaian tertentu yang dapat
diperbincangkan oleh para pengamat kesenian. Hal ini yang kemudian membuat
kelompok teater kampus menjadi mandul di kampungnya sendiri.
Terlepas apakah mereka mendapat fasilitas yang
berkecukupan atau tidak dari pemangku kebijakan di kampusnya, yang terpenting
sesungguhnya adalah sejauhmana daya tahan dan kemauan bekerja keras untuk
membuat karya terbaik,sekaligus dapat mengatasi problem dasar yang mereka
miliki secara positif.
Sulit membayangkan, bagaimana
nasib teater kampus bila masih asyik dalam tempurungnya. Asyik dalam involusi
yang sadar tak sadar dibangun secara sistemik oleh para anggota lamanya. Ruang
pergaulan mereka yang sempit semakin menyempitkan orientasi anggota baru yang
silih datang tiap tahun. Mereka seolah penjaga gawang yang masih memahami
perkembangan dunia teater mutakhir dan masih merasa penting untuk mencampuri
urusan proses kreatif generasi barunya. Padahal lebih tepat bila mereka
memposisikan diri sebagai fasilitator yang dapat membuka paradigma yuniornya
untuk melihat dunia teater dalam perfektif lain, dari sudut dunia terdekat dia
saat ini. Ini bisa dibuktikan bagaimana forum-forum teater kampus di tingkat
nasional masih dipenuhi para senioren yang jejak rekam karyanya tidak pernah
menjadi perbincangan para pengamat kesenian. Forum-forum seperti FESTAMASIO dan
TEMU TEMAN yang semestinya menjadi aset berharga bagi kelangsungan teater
kampus Indonesia, hanya berhenti dalam perdebatan-perdebatan kusir yang
sentimentil, cara berpikir politis-praktis-dualistis dan karya-karya
pertunjukan di bawah standar yang jauh dari upaya memberi kontribusi bagi
perkembangan teater Indonesia. Karya hanya berhenti sebagai karya yang diproses
secara instan dan ditonton oleh sesama teater kampus atas nama pertemanan dan
silaturahmi lomba.
Tanpa keterlibatan media kritik
dan pengamat kesenian. Paradigma kegagahan dalam kemiskinan dimaknai secara
politis (salah kaprah) yang merasa seolah menjaga independensi, dengan
membebaskan campur tangan pemerintah dalam pendanaan. Padahal keberadaannya
sudah jelas-jelas tidak mandiri karena di bawah institusi kampus yang terkait
erat dengan pemerintah. Padahal selayaknya, para pelaku berupaya membaca
keadaan lebih terbuka bahwa kegiatan teater adalah bagian dari gerakan
kebudayaan, maka kerjasama dengan institusi manapun dan siapapun menjadi
niscaya, selagi dibangun secara sejajar dan sinergis.
Teater kampus hanya akan menegaskan
keterjepitan dirinya dan selalu mengaduh (cengeng) apabila pola kerja yang
diterapkan masih asyik dalam kungkungan egoisme kelompok, keangkuhan dan
kebanalan. Merasa menjadi “anak tiri” dan paling menderita. Menafikan kerjasama
yang sinergis untuk saling memberi dukungan moril dan materil sesama aktivis
organisasi lain di kampusnya. Mereka tidak menyadari bahwa masyarakat kampus
dan lingkungan sekitarnya adalah modal dasar yang dapat dilibatkan dan diolah
menjadi pendukung utama kerja-kerja kreatifnya. Sehingga karya yang dihasilkan
teater kampus, dimiliki oleh masyarakat kampus, selain akan menjadi penonton
setia juga menjadi media promosi paling efektif bagi masa depannya.
Karenanya, langkah berani yang telah dilakukan
oleh para aktivis teater kampus yang telah membuat forum-forum dan jaringan
berskala provinsi maupun nasional, kiranya dapat segera dibaca ulang untuk
upaya optimalisasi dan keberlanjutannya. Menata ulang dengan membangun jaringan
koordinasi yang solid dan elastis. Menyudahi egoisme kelompok karena merasa
sebagai pendiri dan penggagas suatu forum. Maka faktor utama adalah keterbukaan
pada siapapun untuk bekerjasama, seraya merapatkan barisan untuk sebuah proyek
pembenahan kesadaran seluruh pelaku teater kampus. Kesadaran akan potensi besar
(modal dasar yang baik) yang tidak dimiliki kelompok teater non-kampus.
Untuk itu, karya terbaik dengan
pengelolaan sistem keorganisasian yang visioner, dinanti oleh masyarakat teater
Indonesia. Hemat saya, dengan momentum yang terus diciptakan melalui
event-event teater kampus berskala nasional yang terbuka dan terencana dengan
baik dalam suatu koordinasi yang lentur. Hal ini tentu akan berdampak positif
bagi kerja-kerja kreatif di dalam internal kampus masing-masing pelaku. Tidak
sebaliknya, malah membuat forum tersebut penuh dengan kecurigaan, dan
sakwasangka. Menciptakan trauma sebuah pertemuan bagi para peserta. Membuat
kerja kreatif hanya sekedar jaringan pertemanan, menyembunyikan
ketidakberdayaan dalam membuat karya teater berkualitas yang dibutuhkan
masyarakat luas.
Sekali lagi ini perlu dibaca
secara seksama, bahwa potensi teater kampus di Indonesia yang luar biasa,
minimal jika dilihat secara kuantitatif, membutuhkan suatu kesungguhan kerja
dalam mengelolanya. Tidak dibiarkan begitu saja sebagai “sapi perahan” yang
dituntut berkualitas tapi tidak mendapat dukungan konkrit dari semua pihak
terkait. Sebagaimana akhir-akhir ini yang terjadi, teater kampus merasa gagah
untuk bekerja sendiri dan berteriak marah dalam tempurungnya. Sementara pihak
diluarnya merasa tidak menjadi bagian dari keberlangsungannya. Padahal kita
semua tahu bahwa biar bagaimanapun teater kampus hanya tinggal papan nama,
kelompok teater non-kampus umumnya mendapat pasokan baru dari aktivis teater
kampus. Ini membuktikan bahwa teater kampus masih sangat penting keberadaannya
dan mendesak untuk menginsafi posisinya sebagai basis teater modern Indonesia
yang layak mendapat dukungan dari manapun dan berhak memiliki karya teater yang
berkualitas. Tentu dengan kerja tulus dan sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar